19 Juli 2011

Ketika Ayam berbicara Tentang Kita [Artikel Motivasi]

Kami adalah hewan yang tentu tidak asing lagi bagi manusia. Mereka sering melihat kami, karena kami hidup di sekeliling mereka. Selain itu kami adalah hewan kesayangan dan kesukaan mereka. Sayang ketika kami adalah hewan piaraan mereka dan suka ketika kami adalah menu hidangan di atas meja makan mereka. Namun hubungan kami dengan mereka hanya sebatas itu. Tidak banyak dari mereka yang mengambil pelajaran dari kehidupan kami. Padahal kami hidup bukan hanya untuk dijadikan santapan, tetapi lebih dari itu hidup kami adalah bukti kekuasaan Allah Swt. yang dapat mereka jadikan pelajaran dan ibrah yang bermanfaat dalam hidup mereka.



Sebenarnya banyak pelajaran yang perlu mereka ketahui dari kami bangsa ayam. Sayang mereka malas menyisakan waktunya untuk merenung dan bertafakkur melihat tanda-tanda kekuasaan Allah. Coba saja perhatikan! Kami selalu memberi uswah bagi mereka. Kami tidak pernah terlambat bangun subuh. Bahkan kami yang membangunkan mereka untuk shalat shubuh. Sebenarnya bukan hanya itu. Setiap datang waktu shalat kami juga mengingatkan mereka agar tidak lengah dari kewajiban shalat. Bahkan setiap saat kami mengingatkan mereka untuk selalu berdzikir. Mungkin karena bisingnya siang mereka tidak menedengarkan seruan kami. Eh... tahu gak apa yang kami katakan setiap kali berkokok? Bukan “kukuruyuk” seperti yang mereka katakan. Coba cermati sekali lagi, sebenarnya kami mengatakan “Udzkurullâh” (ingatlah kalian kepada Allah). Cuma karena kekurangan kami; lidah kami tidak sempurna sehingga tidak bisa mengucap kalimat itu dengan fasih.



Selain itu kami adalah binatang yang rajin bekerja. Pantang bagi kami pulang kandang sebelum tiba waktunya. Kami juga selalu bertawakkal kepada Allah. Karena Dia telah menentukan jatah rezeki setiap makhluknya. Semua makhluk tidak akan mati seblum menghabiskan jatah rezeki itu. Dengan hanya bermodal cakar dan paruh, kami pergi pagi dengan perut kosong, dan pulang sore dengan perut kenyang. Kami tak pernah risau dengan rezeki Allah Swt.. Karena Dia Mahapenyayang terhadap semua makhluk-Nya. Lain dengan sebagian manusia yang pemalas. Setiap diberi tugas dan pekerjaan, mereka tidak amanah, akhirnya jarang pernah selesai pada waktunya. ketika ada masalah mereka tidur, tetapi ketika tiba waktu tidur malah mikirin masalah. Mereka tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya. Mereka juga jarang berdisiplin dan sering risau memikirkan rezeki besok lusa yang belum pasti. Padahal dari mana mereka tahu kalau esok lusa mereka masih hidup. Huh... malu dong sama kami yang bangsa hewan.



Perlu mereka ketahui bahwa induk-induk kami adalah induk yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Ketika ada rezeki mereka selalu memanggil kami untuk makan bersama. Mereka menjaga kami dari panas dan dingin. Mereka melindungi kami dari mara bahaya. Jika ada yang berani mengganggu kami, mereka akan melabrak si pengganggu itu, tak peduli siapa. Walaupun dia Presiden RI. Walaupun itu berbahaya dst. Pokoknya labrak. Tetapi coba lihat sebagian orang tua manusia. Demi bisnis dan pekerjaan mereka rela meninggalkan anak-anaknya. Menitipkan pendidikannya pada baby suster atau pembantu dsb. Akhirnya kasih sayang orang tua tidak pernah mereka rasakan, pendidikan mental, akhlak dan kepribadian terbengkalai. Besar sedikit, anaknya dibiarkan kelayapan kesana-kemari. Bergaul bebas dengan orang-orang tidak jelas. Malu dong sama kami bangsa binatang yang rendahan. Walaupun kami tidak sekolah, tetapi dengan bangga dan senang hati kami mendidik anak-anak kami.



Ada suatu prilaku kami yang mungkin menurut mereka adalah perbuatan buruk. Tahu apa itu? Pejantan kami suka gonta-ganti pasangan. Tetapi, bagi kami itu tidak buruk dan bahkan merupakan tugas hidup kami untuk memperbanyak keturunan. Kalau manusia mau memperhatikan, mereka akan mengerti bahwa itu kami lakukan karena kami adalah bangsa hewan yang tak berakal. Lagi pula Sang Pencipta tidak pernah membebankan kepada kami syariat nikah seperti mereka. Tentu sangat wajar jika kami berbuat demikian. Yang tidak wajar adalah, jika mereka manusia yang memiliki akal sehat, diturunkan bagi mereka kitab suci, diutus para nabi dan rasul, namun mereka berbuat seperti kami bangsa hewan. Pantas saja jika sang Pencipta mencela mereka bahwa sebagian mereka ada yang lebih sesat dari binatang. Sebab di bangsa kami tidak ada sodomi, lesbi, onani, aborsi dan teman-temannya itu.



Jika yang melakukan perbuatan kami itu adalah orang yang tidak beriman, maka kami tidak peduli. Sebab walau mereka mempunyai kelebihan akal, justeru hal itu membuat kami lebih mulia dari mereka. Karena walaupun kami hewan, tetapi kami masih punya iman. Walaupun kami bukan penduduk surga, namun kami bukanlah ahli neraka seperti mereka. Tetapi betapa kejinya jika seseorang yang mengaku mukmin kemudian berbuat seperti kami. Karena pada saat itu mereka telah melepaskan jubah keimanannya, serta melumuri badannya dengan dosa dan maksiat. Seandainya mereka melihat apa yang kami lihat, niscaya tak sedikitpun waktu yang mereka lewatkan tanpa diisi dengan amal ibadah. Kepada mereka kami hanya bisa berkata, “Kami gauli induk kami, itu karena kami hanya binatang yang tak berakal. Tetapi jika bangsa manusia melakukan perbuatan kami atau lebih kejam dari itu, maka sungguh mereka jauh lebih sesat dan lebih rendah dari bangsa kami.”

Ini hanya sekelumit ibrah untuk manusia dari kami komunitas ayam. Jika mereka mau memperhatikan dan bertafakkur lebih dalam, sungguh pada setiap ciptaan ini terdapat bukti kemahakuasaan sang pencipta Allah subhânahu wata’âlâ. []



@ibnuabidin.multiply.com

18 Juli 2011

Ibu Selalu Berbohong kepadaku! [Kisah Motivasi]

Cerita bermula ketika aku masih kecil, aku terlahir sebagai seorang anak laki-laki di sebuah keluarga yang miskin. Bahkan untuk makan saja, seringkali kekurangan. Ketika makan, ibu sering memberikan bahagian nasinya untukku. Sambil memindahkan nasi ke mangkukku, ibu berkata : “Makanlah nak, aku tidak lapar” ———-KEBOHONGAN IBU YANG PERTAMA


Ketika saya mulai tumbuh dewasa, ibu yang gigih sering meluangkan waktu senggangnya untuk pergi memancing di kolam dekat rumah, ibu berharap dari ikan hasil pancingan, ia dapat memberikan sedikit makanan bergizi untuk pertumbuhan. Sepulang memancing, ibu memasak sup ikan yang segar dan mengundang selera. Sewaktu aku memakan sup ikan itu, ibu duduk disamping kami dan memakan sisa daging ikan yang masih menempel di tulang yang merupakan bekas sisa tulang ikan yang aku makan. Aku melihat ibu seperti itu, hati juga tersentuh, lalu menggunakan suduku dan memberikannya kepada ibuku. Tetapi ibu dengan cepat menolaknya, ia berkata : “Makanlah nak, aku tidak suka makan ikan” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE DUA



Sekarang aku sudah masuk Sekolah Menengah, demi membiayai sekolah abang dan kakakku, ibu pergi ke koperasi untuk membawa sejumlah kotak mancis untuk ditempel, dan hasil tempelannya itu membuahkan sedikit uang untuk menutupi kepentingan hidup. Di kala musim sejuk tiba, aku bangun dari tempat tidurku, melihat ibu masih bertumpu pada lilin kecil dan dengan gigihnya melanjutkan pekerjaannya menempel kotak mancis. Aku berkata : “Ibu, tidurlah, sudah malam, besok pagi ibu masih harus kerja.” Ibu tersenyum dan berkata : “Cepatlah tidur nak, aku tidak penat” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE TIGA

Ketika ujian tiba, ibu meminta cuti kerja supaya dapat menemaniku pergi ujian. Ketika hari sudah siang, terik matahari mulai menyinari, ibu yang tegar dan gigih menunggu aku di bawah terik matahari selama beberapa jam. Ketika bunyi loceng berbunyi, menandakan ujian sudah selesai. Ibu dengan segera menyambutku dan menuangkan teh yang sudah disiapkan dalam botol yang dingin untukku. Teh yang begitu kental tidak dapat dibandingkan dengan kasih sayang yang jauh lebih kental. Melihat ibu yang dibanjiri peluh, aku segera memberikan gelasku untuk ibu sambil menyuruhnya minum. Ibu berkata : “Minumlah nak, aku tidak haus!” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE EMPAT

Setelah kepergian ayah karena sakit, ibu yang malang harus merangkap sebagai ayah dan ibu. Dengan berpegang pada pekerjaan dia yang dulu, dia harus membiayai keperluan hidup sendiri. Kehidupan keluarga kita pun semakin susah dan susah. Tiada hari tanpa penderitaan. Melihat kondisi keluarga yang semakin parah, ada seorang pakcik yang baik hati yang tinggal di dekat rumahku pun membantu ibuku baik masalah besar maupun masalah kecil. Tetangga yang ada di sebelah rumah melihat kehidupan kita yang begitu sengsara, seringkali menasehati ibuku untuk menikah lagi. Tetapi ibu yang memang keras kepala tidak mengindahkan nasehat mereka, ibu berkata : “Saya tidak butuh cinta” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE LIMA

Setelah aku, kakakku dan abangku semuanya sudah tamat dari sekolah dan bekerja, ibu yang sudah tua sudah waktunya pencen. Tetapi ibu tidak mahu, ia rela untuk pergi ke pasar setiap pagi untuk jualan sedikit sayur untuk memenuhi keperluan hidupnya. Kakakku dan abangku yang bekerja di luar kota sering mengirimkan sedikit uang untuk membantu memenuhi keperluan ibu, tetapi ibu berkeras tidak mau menerima uang tersebut. Malahan mengirim balik uang tersebut. Ibu berkata : “Saya ada duit” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE ENAM

Setelah lulus dari ijazah, aku pun melanjutkan pelajaran untuk buat master dan kemudian memperoleh gelar master di sebuah universiti ternama di Amerika berkat sebuah biasiswa di sebuah syarikat swasta. Akhirnya aku pun bekerja di syarikat itu. Dengan gaji yang lumayan tinggi, aku bermaksud membawa ibuku untuk menikmati hidup di Amerika. Tetapi ibu yang baik hati, bermaksud tidak mahu menyusahkan anaknya, ia berkata kepadaku : “Aku tak biasa tinggal negara orang” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE TUJUH

Setelah memasuki usianya yang tua, ibu terkena penyakit kanser usus, harus dirawat di hospital, aku yang berada jauh di seberang samudera atlantik terus segera pulang untuk menjenguk ibunda tercinta. Aku melihat ibu yang terbaring lemah di ranjangnya setelah menjalani pembedahan. Ibu yang kelihatan sangat tua, menatap aku dengan penuh kerinduan. Walaupun senyum yang tersebar di wajahnya terkesan agak kaku karena sakit yang ditahannya. Terlihat dengan jelas betapa penyakit itu menjamahi tubuh ibuku sehingga ibuku terlihat lemah dan kurus kering. Aku menatap ibuku sambil berlinang air mata. Hatiku perit, sakit sekali melihat ibuku dalam keadaan seperti ini. Tetapi ibu dengan tegarnya berkata : “Jangan menangis anakku, Aku tidak kesakitan” ———-KEBOHONGAN IBU YANG KE DELAPAN.

Setelah mengucapkan kebohongannya yang kelapan, ibuku tercinta menutup matanya untuk yang terakhir kalinya. Dari cerita di atas, saya percaya teman-teman sekalian pasti merasa tersentuh dan ingin sekali mengucapkan : “Terima kasih ibu..!” Coba dipikir-pikir teman, sudah berapa lamakah kita tidak menelepon ayah ibu kita? Sudah berapa lamakah kita tidak menghabiskan waktu kita untuk berbincang dengan ayah ibu kita? Di tengah-tengah aktiviti kita yang padat ini, kita selalu mempunyai beribu-ribu alasan untuk meninggalkan ayah ibu kita yang kesepian. Kita selalu lupa akan ayah dan ibu yang ada di rumah. Jika dibandingkan dengan pasangan kita, kita pasti lebih peduli dengan pasangan kita. Buktinya, kita selalu risau akan kabar pasangan kita, risau apakah dia sudah makan atau belum, risau apakah dia bahagia bila di samping kita. Namun, apakah kita semua pernah merisaukan kabar dari orangtua kita? Risau apakah orangtua kita sudah makan atau belum? Risau apakah orangtua kita sudah bahagia atau belum? Apakah ini benar? Kalau ya, coba kita renungkan kembali lagi… Di waktu kita masih mempunyai kesempatan untuk membalas budi orangtua kita, lakukanlah yang terbaik. Jangan sampai ada kata “MENYESAL” di kemudian hari.





@ antonhuang.com

05 Juli 2011

Indahnya! Bersujud Di Atas Sajadah Cinta! [Kisah Cinta]

KOTA KUFAH terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk. Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota Kufah masih terasa.




Di serambi masjid Kufah, seorang pemuda berdiri tegap menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teguh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan, Pencipta alam semesta. Orang-orang memanggilnya “Zahid” atau “Si Ahli Zuhud”, karena kezuhudannya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda yang paling tampan dan paling mencintai masjid di kota Kufah pada masanya. Sebagian besar waktunya ia habiskan di dalam masjid, untuk ibadah dan menuntut ilmu pada ulama terkemuka kota Kufah. Saat itu masjid adalah pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat perhatian.



Pemuda itu terus larut dalam samudera ayat Ilahi. Setiap kali sampai pada ayat-ayat azab, tubuh pemuda itu bergetar hebat. Air matanya mengalir deras. Neraka bagaikan menyala-nyala dihadapannya. Namun jika ia sampai pada ayat-ayat nikmat dan surga, embun sejuk dari langit terasa bagai mengguyur sekujur tubuhnya. Ia merasakan kesejukan dan kebahagiaan. Ia bagai mencium aroma wangi para bidadari yang suci.



Tatkala sampai pada surat Asy Syams, ia menangis,



“fa alhamaha fujuuraha wa taqwaaha.



qad aflaha man zakkaaha.



wa qad khaaba man dassaaha



…”



(maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaan,



sesungguhnya, beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,



dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya



…)



Hatinya bertanya-tanya. Apakah dia termasuk golongan yang mensucikan jiwanya. Ataukah golongan yang mengotori jiwanya? Dia termasuk golongan yang beruntung, ataukah yang merugi?



Ayat itu ia ulang berkali-kali. Hatinya bergetar hebat. Tubuhnya berguncang. Akhirnya ia pingsan.







***







Sementara itu, di pinggir kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkerlap-kerlip bagai bintang gemintang. Rumah itu milik seorang saudagar kaya yang memiliki kebun kurma yang luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya.



Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari-nari riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya sungguh memesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair-syair cinta,



“in kuntu ‘asyiqatul lail fa ka’si



musyriqun bi dhau’



wal hubb al wariq



…”



(jika aku pencinta malam maka



gelasku memancarkan cahaya



dan cinta yang mekar



…)







***







Gadis itu terus menari-nari dengan riangnya. Hatinya berbunga-bunga. Di ruangan tengah, kedua orangtuanya menyungging senyum mendengar syair yang didendangkan putrinya. Sang ibu berkata, “Abu Afirah, putri kita sudah menginjak dewasa. Kau dengarkanlah baik-baik syair-syair yang ia dendangkan.”



“Ya, itu syair-syair cinta. Memang sudah saatnya dia menikah. Kebetulan tadi siang di pasar aku berjumpa dengan Abu Yasir. Dia melamar Afirah untuk putranya, Yasir.”



“Bagaimana, kau terima atau…?”



“Ya jelas langsung aku terima. Dia ‘kan masih kerabat sendiri dan kita banyak berhutang budi padanya. Dialah yang dulu menolong kita waktu kesusahan. Di samping itu Yasir itu gagah dan tampan.”



“Tapi bukankah lebih baik kalau minta pendapat Afirah dulu?”



“Tak perlu! Kita tidak ada pilihan kecuali menerima pinangan ayah Yasir. Pemuda yang paling cocok untuk Afirah adalah Yasir.”



“Tapi, engkau tentu tahu bahwa Yasir itu pemuda yang tidak baik.”



“Ah, itu gampang. Nanti jika sudah beristri Afirah, dia pasti juga akan tobat! Yang penting dia kaya raya.”







***







Pada saat yang sama, di sebuah tenda mewah, tak jauh dari pasar Kufah. Seorang pemuda tampan dikelilingi oleh teman-temannya. Tak jauh darinya seorang penari melenggak lenggokan tubuhnya diiringi suara gendang dan seruling.



“Ayo bangun, Yasir. Penari itu mengerlingkan matanya padamu!” bisik temannya.



“Be…benarkah?”



“Benar. Ayo cepatlah. Dia penari tercantik kota ini. Jangan kau sia-siakan kesempatan ini, Yasir!”



“Baiklah. Bersenang-senang dengannya memang impianku.”



Yasir lalu bangkit dari duduknya dan beranjak menghampiri sang penari. Sang penari mengulurkan tangan kanannya dan Yasir menyambutnya. Keduanya lalu menari-nari diiringi irama seruling dan gendang. Keduanya benar-benar hanyut dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu ketelinga Yasir,



“Apakah Anda punya waktu malam ini bersamaku?”



Yasir tersenyum dan menganggukan kepalanya. Keduanya terus menari dan menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengking-lengking. Aroma arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati.







***



Keesokan harinya.



Usai shalat dhuha, Zahid meninggalkan masjid menuju ke pinggir kota. Ia hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca ayat-ayat suci Al-Quran. Ia sempatkan ke pasar sebentar untuk membeli anggur dan apel buat saudaranya yang sakit.



Zahid berjalan melewati kebun kurma yang luas. Saudaranya pernah bercerita bahwa kebun itu milik saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki jalan yang membelah kebun kurma itu. Tiba-tiba dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu semakin membesar dan mendekat. Matanya lalu menangkap di kejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayup-sayup telinganya menangkap suara,



“Toloong! Toloong!!”



Suara itu datang dari arah penunggang kuda yang ada jauh di depannya. Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas.



“Toloong! Toloong!!”



Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas bisa menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang.



“Toloong! Toloong hentikan kudaku ini! Ia tidak bisa dikendalikan!”



Mendengar itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter di depannya. Cepat-cepat ia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap di tengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat tangan kanannya dan berkata keras,



“Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!”



Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan berhenti seketika. Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekati perempuan itu dan menyapanya,



“Assalamu’alaiki. Kau tidak apa-apa?”



Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya yang bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan,



“Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat jatuh.”



“Syukurlah kalau begitu.”



Dua mata bening di balik cadar itu terus memandangi wajah tampan Zahid. Menyadari hal itu Zahid menundukkan pandangannya ke tanah. Perempuan itu perlahan bangkit. Tanpa sepengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan memesona,



“Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mau ke mana Tuan?”



Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih memesona. Hatinya bergetar hebat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona, Zahid tersadar, ia cepat-cepat menundukkan kepalanya. “Innalillah. Astagfirullah,” gemuruh hatinya.



“Namaku Zahid, aku dari masjid mau mengunjungi saudaraku yang sakit.”



“Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya cuma di dalam masjid?”



“Tak tahulah. Itu mungkin Zahid yang lain.” kata Zahid sambil membalikkan badan. Ia lalu melangkah.



“Tunggu dulu Tuan Zahid! Kenapa tergesa-gesa? Kau mau kemana? Perbincangan kita belum selesai!”



“Aku mau melanjutkan perjalananku!”



Tiba-tiba gadis itu berlari dan berdiri di hadapan Zahid. Terang saja Zahid gelagapan. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada di depannya. Seumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.



“Tuan aku hanya mau bilang, namaku Afirah. Kebun ini milik ayahku. Dan rumahku ada di sebelah selatan kebun ini. Jika kau mau silakan datang ke rumahku. Ayah pasti akan senang dengan kehadiranmu. Dan sebagai ucapan terima kasih aku mau menghadiahkan ini.”



Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau muda.



“Tidak usah.”



“Terimalah, tidak apa-apa! Kalau tidak Tuan terima, aku tidak akan memberi jalan!”



Terpaksa Zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kakinya melanjutkan perjalanan.







***







Saat malam datang membentangkan jubah hitamnya, kota Kufah kembali diterangi sinar rembulan. Angin sejuk dari utara semilir mengalir.



Afirah terpekur di kamarnya. Matanya berkaca-kaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung. Apa yang menimpa dirinya. Sejak kejadian tadi pagi di kebun kurma hatinya terasa gundah. Wajah bersih Zahid bagai tak hilang dari pelupuk matanya. Pandangan matanya yang teduh menunduk membuat hatinya sedemikian terpikat. Pembicaraan orang-orang tentang kesalehan seorang pemuda di tengah kota bernama Zahid semakin membuat hatinya tertawan. Tadi pagi ia menatap wajahnya dan mendengarkan tutur suaranya. Ia juga menyaksikan wibawanya. Tiba-tiba air matanya mengalir deras. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata,



“Inikah cinta? Beginikah rasanya? Terasa hangat mengaliri syaraf. Juga terasa sejuk di dalam hati. Ya Rabbi, tak aku pungkiri aku jatuh hati pada hamba-Mu yang bernama Zahid. Dan inilah untuk pertama kalinya aku terpesona pada seorang pemuda. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta. Ya Rabbi, izinkanlah aku mencintainya.”



Air matanya terus mengalir membasahi pipinya. Ia teringat sapu tangan yang ia berikan pada Zahid. Tiba-tiba ia tersenyum,



“Ah sapu tanganku ada padanya. Ia pasti juga mencintaiku. Suatu hari ia akan datang kemari.”



Hatinya berbunga-bunga. Wajah yang tampan bercahaya dan bermata teduh itu hadir di pelupuk matanya.







***



Sementara itu di dalam masjid Kufah tampak Zahid yang sedang menangis di sebelah kanan mimbar. Ia menangisi hilangnya kekhusyukan hatinya dalam shalat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak ia bertemu dengan Afirah di kebun kurma tadi pagi ia tidak bisa mengendalikan gelora hatinya. Aura kecantikan Afirah bercokol dan mengakar sedemikian kuat dalam relung-relung hatinya. Aura itu selalu melintas dalam shalat, baca Al-Quran dan dalam apa saja yang ia kerjakan. Ia telah mencoba berulang kali menepis jauh-jauh aura pesona Afirah dengan melakukan shalat sekhusyu’-khusyu’-nya namun usaha itu sia-sia.



“Ilahi, kasihanilah hamba-Mu yang lemah ini. Engkau Mahatahu atas apa yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cinta-Mu. Namun Engkau juga tahu, hatiku ini tak mampu mengusir pesona kecantikan seorang makhluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan suaranya Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk meletakkan embun-embun cinta yang menetes-netes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup matiku untuk-Mu.” Isak Zahid mengharu biru pada Tuhan Sang Pencipta hati, cinta, dan segala keindahan semesta.



Zahid terus meratap dan mengiba. Hatinya yang dipenuhi gelora cinta terus ia paksa untuk menepis noda-noda nafsu. Anehnya, semakin ia meratap embun-embun cinta itu semakin deras mengalir. Rasa cintanya pada Tuhan. Rasa takut akan azab-Nya. Rasa cinta dan rindu-Nya pada Afirah. Dan rasa tidak ingin kehilangannya. Semua bercampur dan mengalir sedemikian hebat dalam relung hatinya. Dalam puncak munajatnya ia pingsan.



Menjelang subuh, ia terbangun. Ia tersentak kaget. Ia belom shalat tahajjud. Beberapa orang tampak tengah asyik beribadah bercengkerama dengan Tuhannya. Ia menangis, ia menyesal. Biasanya ia sudah membaca dua juz dalam shalatnya.



“Ilahi, jangan kau gantikan bidadariku di surga dengan bidadari dunia. Ilahi, hamba lemah maka berilah kekuatan!”



Ia lalu bangkit, wudhu, dan shalat tahajjud. Di dalam sujudnya ia berdoa,



“Ilahi, hamba mohon ridha-Mu dan surga. Amin. Ilahi lindungi hamba dari murkamu dan neraka. Amin. Ilahi, jika boleh hamba titipkan rasa cinta hamba pada Afirah pada-Mu, hamba terlalu lemah untuk menanggung-Nya. Amin. Ilahi, hamba memohon ampunan-Mu, rahmat-Mu, cinta-Mu, dan ridha-Mu. Amin.”







***







Pagi hari, usai shalat dhuha Zahid berjalan ke arah pinggir kota. Tujuannya jelas yaitu melamar Afirah. Hatinya mantap untuk melamarnya. Di sana ia disambut dengan baik oleh kedua orangtua Afirah. Mereka sangat senang dengan kunjungan Zahid yang sudah terkenal ketakwaannya di seantero penjuru kota. Afiah keluar sekejab untuk membawa minuman lalu kembali ke dalam. Dari balik tirai ia mendengarkan dengan seksama pembicaraan Zahid dengan ayahnya. Zahid mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu melamar Afirah.



Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah menanti dengan seksama jawaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Zahid menundukkan kepala ia pasrah dengan jawaban yang akan diterimanya. Lalu terdengarlah jawaban ayah Afirah,



“Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar Abu Yasir untuk putranya Yasir beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.”



Zahid hanya mampu menganggukan kepala. Ia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarnya. Ia tidak bisa menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan mata berkaca-kaca. Sementara Afirah, lebih tragis keadaannya. Jantungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.











Zahid kembali ke masjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan Zahid ternyata tidak mampu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia dengar dari ayah Afirah membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu badannya sangat panas. Berkali-kali ia pingsan. Ketika keadaannya kritis seorang jamaah membawa dan merawatnya di rumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istigfhar dan … Afirah.



Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar ke seantero kota Kufah. Angin pun meniupkan kabar ini ke telinga Afirah. Rasa cinta Afirah yang tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek,















Kepada Zahid,







Assalamu’alaikum







Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa cinta itulah yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam mimpi dan sadarmu. Tak bisa kuingkari, aku pun mengalami hal yang sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku selama-lamanya.



Zahid,



Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa haus kita berdua. Pertama, aku akan datang ke tempatmu dan kita bisa memadu cinta. Atau kau datanglah ke kamarku, akan aku tunjukkan jalan dan waktunya.







Wassalam



Afirah













Surat itu ia titipkan pada seorang pembantu setianya yang bisa dipercaya. Ia berpesan agar surat itu langsung sampai ke tangan Zahid. Tidak boleh ada orang ketiga yang membacanya. Dan meminta jawaban Zahid saat itu juga.



Hari itu juga surat Afirah sampai ke tangan Zahid. Dengan hati berbunga-bunga Zahid menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isinya seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristighfar sebanyak-banyaknya. Dengan berlinang air mata ia menulis untuk Afirah :















Kepada Afirah,







Salamullahi’alaiki,







Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah semata-mata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan sebuah cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah ‘Azza Wa Jalla’. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan sebuah cinta yang menyeret kepada kenistaan dosa dan murka-Nya.



Afirah,



Kedua tawaranmu itu tak ada yang kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwa ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka. Afirah, “Inni akhaafu in ‘ashaitu Rabbi adzaaba yaumin ‘adhim!” ( Sesungguhnya aku takut akan siksa hari yang besar jika aku durhaka pada Rabb-ku. Az Zumar : 13 )



Afirah,



Jika kita terus bertakwa. Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang bisa aku lakukan saat ini kecuali menangis pada-Nya. Tidak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya :



“Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita-wanita yang tidak baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu surga).”



Karena aku ingin mendapatkan seorang bidadari yang suci dan baik maka aku akan berusaha kesucian dan kebaikan. Selanjutnya Allahlah yang menentukan.



Afirah,



Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.







Wassalam,



Zahid













Begitu membaca jawaban Zahid itu Afirah menangis. Ia menangis bukan karena kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang sangat berharga, yaitu hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda saleh bernama Zahid itu telah mengubah jalan hidupnya.



Sejak itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamor. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Sorban putih pemberian Zahid ia jadikan sajadah, tempat dimana ia bersujud, dan menangis di tengah malam memohon ampunan dan rahmat Allah SWT. Siang ia puasa malam ia habiskan dengan bermunajat pada Tuhannya. Di atas sajadah putih ia menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, yaitu cinta kepada Allah SWT. Hal yang sama juga dilakukan Zahid di masjid Kufah. Keduanya benar-benar larut dalam samudera cinta kepada Allah SWT.



Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa bulan kemudian Zahid menerima sepucuk surat dari Afirah :















Kepada Zahid,







Assalamu’alaikum,







Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang memberi jalan keluar hamba-Nya yang bertakwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasululullah SAW. Secepatnya.







Wassalam,



Afirah















Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab masjid Kufah. Bunga-bunga cinta bermekaran dalam hatinya. Tiada henti bibirnya mengucapkan hamdalah.









@http://ceritacinta-di.blogspot.com

Kisah Cinta Paling Indah, Cinta Sejati! [Artikel Cinta]

Sahabatku sekalian, taukah kalian arti cinta sejati ? Apakah sahabat pernah mendengar atau mengetahui kisah cinta Qais dan Laila atau kisah cinta Romeo dan Juliet ataukah Laila dan Majnun ?



Apakah kisah cinta seperti itu yang dikatakan sebagai kisah cinta sejati ? Seperti yang sahabat ketahui bahwa kisah cinta mereka tidaklah berakhir di pelaminan bahkan rela mati demi cintanya.



Lalu, cinta seperti apakah yang dikatakan sebagai cinta sejati. Cinta sejati antara dua insan adalah cinta yang terus abadi dalam setelah pernikahan yang berlandaskan atas kecintaan mereka kepada Sang Pemilik Cinta yaitu Allah 'Azza Wa Jalla. Walaupun salah satu meninggal, namun cinta sejati ini terus saja abadi. Kisah cinta siapakah yang begitu indah ini ?



Kisah cinta yang paling indah ini siapa lagi yang memilikinya kalau bukan kisah cinta Junjungan kita, Muhammad Saw kepada Khadijah ra.



Sungguh sebuah cinta yang mengaggumkan, cinta yang tetap abadi walaupun Khadijah telah meninggal. Setahun setelah Khadijah meninggal, ada seorang wanita shahabiyah yang menemui Rasulullah Saw. Wanita ini bertanya, "Ya Rasulullah, mengapa engkau tidak menikah ? Engkau memiliki 9 keluarga dan harus menjalankan seruan besar."



Sambil menangis Rasulullah Saw menjawab, "Masih adakah orang lain setelah Khadijah?"



Kalau saja Allah tidak memerintahkan Muhammad Saw untuk menikah, maka pastilah Beliau tidak akan menikah untuk selama-lamanya. Nabi Muhammad Saw menikah dengan Khadijah layaknya para lelaki. Sedangkan pernikahan-pernikahan setelah itu hanya karena tuntutan risalah Nabi Saw, Beliau tidak pernah dapat melupakan istri Beliau ini walaupun setelah 14 tahun Khadijah meninggal.



Pada masa penaklukan kota Makkah, orang-orang berkumpul di sekeliling Beliau, sementara orang-orang Quraisy mendatangi Beliau dengan harapan Beliau mau memaafkan mereka, tiba-tiba Beliau melihat seorang wanita tua yang datang dari jauh. Beliau langsung meninggalkan kerumunan orang ini. Berdiri dan bercakap-cakap dengan wanita itu. Beliau kemudian melepaskan jubah Beliau dan menghamparkannya ke tanah. Beliau duduk dengan wanita tua itu.



Bunda Aisyah bertanya, "Siapa wanita yang diberi kesempatan, waktu, berbicara, dan mendapat perhatian penuh Nabi Saw ini?"



Nabi menjawab, "Wanita ini adalah teman Khadijah."



"Kalian sedang membicarakan apa, ya Rasulullah?" tanya Aisyah



"Kami baru saja membicarakan hari-hari bersama Khadijah."



Mendengar jawaban Beliau ini, Aisyah pun merasa cemburu. "Apakah engkau masih mengingat wanita tua ini (Khadijah), padahal ia telah tertimbun tanah dan Allah telah memberikan ganti untukmu yang lebih baik darinya?"



"Demi Allah, Allah tidak pernah menggantikan wanita yang lebih baik darinya. Ia mau menolongku di saat orang-orang mengusirku. Ia mau mempercayaiku di saat orang-orang mendustakanku."



Aisyah merasa bahwa Rasulullah Saw marah. "Maafkan aku, ya Rasulullah."



"Mintalah maaf kepada Khadijah, baru aku akan memaafkanmu." (Hadits ini diriwayatkan Bukhari dari Ummul Mukminin Aisyah)



Sahabatku, apakah mungkin ada cinta seperti itu, yang dapat terus abadi setelah orang yang dicintai meninggal 14 tahun yang telah lewat ? Yupz, karena cinta ini tidak pernah didahului hubungan haram dan karena ketaatan kepada Allah menjadi dasar dalam rumah tangga ini. Rumah tangga yang selalu dihiasi dengan dzikir kepada Allah, bukan rumah yang digunakan untuk mengingat setan.



Bagaimana pendapat kalian, sahabat muda sekalian, apakah kalian tidak ingin menjadikan rumah tangga kalian seperti ini ?. Suami membaca Al-Qur'an bersama istrinya. Betapa agungnya ketika anak-anak mereka turut serta membaca Al-Qur'an.



Menjelang waktu Shubuh tiba, si istri membangunkan suaminya untuk melaksanakan shalat Shubuh. Suami melaksanakan shalat Qiyaam al-lail 2 rakaat bersama istrinya. Seperti apa rumah ini ? Indah nian bukan ? betapa manisnya, betapa indah cinta di dalam rumah tangga ini.



Cobalah, pasti kalian dapat menemukan segalanya berubah, cinta pun bertambah, dan Allah melimpahkan berkah-Nya kepada kalian.



"Menikah jauh lebih baik daripada pacaran"






@http://pacaranislami.blogspot.com

01 Juli 2011

Kisah hari Ini, 01 Juli 2011 [Kisah Dari Sahabat]

seringkali kita baru sadar betapa berartinya seseorang, justru ketika seseorang itu telah pergi meningggalkan kita. kamu tahu kenapa?

Karena patah hati, maka Ryan tidak bisa tidur. Gelisah terbaring di tempat tidur, bergulingan ke kanan dan ke kiri, serta menaikkan kakinya ke atas tembok yang catnya sudah luntur. Teman satu kamarnya yang baik hati dan tidak sombong itu menjadi terganggu. Tapi ia paham betul apa yang sedang terjadi sebenarnya sebab tadi siang Ryan curhat habis habisan tentang apa yang sebenarnya terjadi padanya itu.

“Udah, enggak usah di pikirin.”

“Maunya sih gitu, tapi enggak bisa.”

“Ya berusaha dong.”

“Udah, tapi tetep enggak bisa. Elo bayangin aja, tiap waktu gue ingat sama dia. Waktu makan gue ingat, waktu naik angkot gue ingat sama dia, waktu mau jemur baju juga ingat dia. Pokoknya gue ingat dia terus deh.”

“Busyet, kaya lagu aja. Tapi, pas elo ke toilet, ingat dia juga?” Temannya Ryan yang baik hati dan tidak sombong itu menggeliat manja.

“Ya iyalah.”

“Idih, jorok banget sih!”

“Yang jorok tuh elo, nanya kok begitu.”

Temannya Ryan lalu meletakkan buku yang sedang ia baca di atas kasur, dan beringsut ke depan Ryan, sambil senyum senyum bikin Ryan bertanya tanya.

“Kenapa sih, senyam senyum sendiri?” Tanya Ryan curiga.

“Yan, gue tahu caranya biar elo berhenti mikirin mantan elo.”

“Gimana?”

“Hipnotis.”

Ryan kaget. “Emang elo bisa?”

Temannya Ryan mengangguk anggukkan kepalanya sambil menepuk dadanya berulang kali.

“Bisa dong. Gimana, mau engga?”

Wajah temannya Ryan nampak berseri seri, sebab ia telah menemukan orang yang tepat buat jadi kelinci percobaan, setelah hampir satu bulan ia belajar ilmu hipnotis melalui buku.

“Terserah lo deh, pokoknya gue bisa ngelupain dia.”

Temannya Ryan segera mengambil sebuah benda bulat pipih dengan tali menggantung di tengah tengahnya. Sebuah yoyo dari plastik berwarna biru cerah. Lalu yoyo itu ia goyang goyangkan di depan mukanya Ryan.

“Sory Yan, gue enggak punya jam tangan yang ada rantainya, jadi pake ini aja yah, gue boleh minjem punya si Otong.”

Ryan nurut saja apa kata temannya itu. Yang penting dia lupa sama itu perempuan. Di tatapnya yoyo yang bergoyang ke kiri dan ke kanan itu tanpa berkedip, dan mengikuti temannya yang bisik bisik.

“Lupakan..lupakan..”

Dan Ryan pun mengikutinya perlahan.

“Lupakan..lupakan..”

Ryan mulai mengantuk. Matanya sudah mulai menutup, dan temannya terseyum puas, berharap percobaan pertamanya sukses, dan ia akan semakin percaya diri menghipnotis yang lainnya. Terbayang dikepalanya bahwa setelah Ryan ia akan menghipnotis ibu kost biar disangka sudah bayar kost kostan.

“Lupakan.. lupakan..”

“Lupakan.. lupakan..”

Jangan pernah lupakan aku..jangan hilangkan diriku…

Ryan kaget, temannya lebih kaget. Suara Giring Nidji melengking dengan deras dari radio dua band di kamar sebelah. Setan alas! Ryan tidak jadi tidur dan tentu saja masih ingat sama itu perempuan.

“Ah, rese banget sih.” Kata temannya Ryan sewot bukan main. “Udah ah, Yan ikut gue yuk!”

“Kemana?”

“Naik pohon.”

---

Pohon itu satu satunya pohon besar di kost kost-an mereka. Pohon mangga, dengan cabangnya yang besar terserak di batangnya. Tidak ada satu orang pun penghuni kost kostan itu yang suka naik ke atasnya, kecuali Ryan dan temannya itu. Mereka suka duduk duduk di atas dua cabang pohon yang paling besar yang berada di tengah, kadang kadang sambil membawa makanan kecil, sambil ngomong apa saja yang bisa diomongin.

“Yan,” Kata temannya Ryan setelah duduk di atas pohon mangga itu. “di sini udaranya sejuk yah, enggak kaya di bawah. Panas.!”

“Iya, bro sejuk.” Ryan pun menarik nafas panjang, dan baru setengah jalan ketika tiba tiba ia terbatuk batuk sambil menutup lubang hidungnya dengan punggung tangan.

“Lo kentut yah!”

“Iya tadi. Emang bau Yan?”

“Wedhus gibas. Bau tahu, elo abis makan apaan sih. Makan orok bangkai yah!”

Temannya Ryan hanya tertawa lalu minta maaf sambil berjanji tidak akan kentut lagi kecuali kepepet. Ryan ngomel ngomel sampai bau itu lenyap terbawa angin malam.

“Bro, gue kangen nih sama dia.” Kata Ryan tiba tiba.

”Telpon dong. Elo rayu rayu, trus ajak balikan lagi.”

“Kalau dia engga mau?”

”Ya, ikhlasin aja, cari yang lain.”

“Gue udah ikhlas bro, cuma yang masih ngeganjel di hati gue nih, kenapa baru sekarang gue ngerasain kehilangan dia banget. Kalau tahu gini, gue mau deh ngelakuin apa saja asal gue masih bisa sama dia. Gue nyesel bro.”

“Baru deh nyesel. Kemarin kemarin kemana aja. Tapi nyantai aja Yan, engga cuma elo kok yang begitu, semua orang juga gitu. Elo pengen tahu, kenapa bisa gitu. Kenapa elo baru nyadar bahwa dia berarti buat elo setelah dia sudah pergi dari hidup elo?”

Dalam remang cahaya lampu bohlam lima belas watt yang menempel di sudut tembok, Ryan mengangguk perlahan. “Kenapa?”

“Supaya elo lebih bersyukur. Supaya elo menjaga apa yang pun yang telah diberikan Tuhan sama elo. Entah itu pacar elo, teman elo, bahkan hewan peliharaan elo. Supaya elo ngerti dan sadar bahwa segala hal yang hadir dalam kehidupan lo itu adalah berharga dan penting, dan tugas elo menjamin segala hal itu berjalan dengan semestinya, yaitu tetap berharga dan penting.”

Temannya Ryan mengatakan semua itu, yang rada susah dimengerti, dengan suara berapi api di depan Ryan, dan baru menyadari bahwa sedari tadi Ryan terlihat mengusapkan tangan ke mata dan pipinya, membuat temannya jadi sedikit kaget, menyangka Ryan menangis karena terharu mendengar apa yang barusan dikatakannya.

“Udah Yan, engga usah nangis gitu.”

”Nangis kepala elo peyang!! Elo ngomong muncrat tahu!!”

“Oh, muncrat toh. Sory Yan, elo sih bukannya ngomong dari tadi.”

Ryan agak sewot juga, sebab sudah dua kali dia dibikin dongkol sama temannya itu. Ingin rasanya ia menonjok muka temannya itu, terus di injek injek sampai gepeng. Tapi tentu saja Ryan tidak mungkin melakukan hal itu.

---

Lampu lima belas watt yang menempel di sudut tembok tiba tiba mati, sengaja di matikan oleh ibu kost sebab hari sudah terlalu malam, yang menyebabkan keadaan tempat itu jadi semakin gelap.

“Bro, turun yuk. Gelap nih.”

“Ogah, ntar dulu. Di bawah masih panas Yan.”

“Ya udah, tapi elo jangan ngeraba raba ya.”

“Idih!”

Lalu sebuah keheningan tercipta. Ryan sibuk memikirkan mantannya, sedang apa sekarang, apa sudah makan, baju yang di kasih ke dia apa masih di pakai, atau udah di buang, atau di kasih pembantu atau di bikin keset, dan pertanyaan pertanyaan yang lainnya sementara temannya sibuk menikmati hembusan sejuk angin malam, sampai sebuah suara datang dari mulut Ryan.

“Bro, ngapain sih elo ngeraba tangan gue?”

“Apan sih! Nih, tangan gue!.” Protes temannya sambil mengarahkan kedua tangannya ke arah Ryan.

“Lah, yang lagi gerak gerak di tangan gue apa dong?”

Ryan dan temannya berpandangan. “Jangan jangan ulet bulu Yan.”

Denger kata ulet bulu, Ryan yang alergi banget sama itu binatang segera histeris tidak karuan, mengibaskan tangannya berkali kali, juga menendang nendang kaki, dan hilang keseimbangan, dan jatuhlah ia ke bawah menimbulkan bunyi gedebug yang cukup keras.

Temannya dengan panik menyusul turun, takut terjadi apa apa sama Ryan.

“Yan, elo engga apa apa?”

Tapi Ryan diam saja, hanya duduk di atas tanah di pegangi oleh temannya. “Yan, ngomong Yan!”

“Gue siapa. Elo siapa, terus gue ada dimana?”

Mampuslah!




Sumber : http://dhaabrcrew.blogspot.com/